Pengarang: Abdurrahman Wahid
Bahasa: Indonesia
Halaman: 451
Bahwa “Tuhan tidak perlu dibela”, itu sudah dinyata- kan oleh Abdurrahman Wahid alias Gus Dur dalam suatu tulisannya yang kemudian menjadi judul salah satu buku kumpulan karangannya yang diterbitkan beberapa tahun lalu. Tapi, bagaimana dengan umat-Nya atau manusia pada umumnya? “Merekalah yang sebenarnya justru perlu dibela” ketika mereka menuai ancaman atau mengalami ketertindasan dalam seluruh aspek kehidupan, baik politik, ekonomi, sosial, budaya dan agama.
Konsekuensi dari pembelaan, adalah kritik, dan terkadang terpaksa harus mengecam, jika sudah melewati ambang toleransi. “Pembelaan”, itulah kata kunci dalam esai-esai kumpulan tulisan Abdurrahman Wahid kali ini. Maka, bisa dikatakan, esai-esai ini berangkat dari perspektif korban, dalam hampir semua kasus yang dibahas.
Wahid tidak pandang bulu, tidak membedakan agama, etnis, warna kulit, posisi sosial, agama apapun untuk melakukannya. Bahkan, Wahid tidak ragu untuk mengorbankan image sendiri—sesuatu yang seringkali menjadi barang mahal bagi mereka yang merasa sebagai politisi terkemuka— untuk membela korban yang memang perlu dibela. Maka orang sering terkecoh bahwa seolah Wahid sedang mencari muka ketika harus mengorbankan dirinya sendiri. Munculnya tuduhan sebagai ketua ketoprak, klenik, neo-PKI, dibaptis masuk Kristen, kafir, murtad, agen Zionis Yahudi dan sebagainya, tidak akan menjadi beban bagi dirinya ketika harus membela korban.
Bahkan jika dia sendiri yang jadi korban, tidak akan ragu juga untuk memperjuangkannya, seperti kasus diskriminasi yang dilakukan oleh KPU (Komisi Pemilihan Umum) dalam pemilihan presiden 2004. Hanya untuk tidak meloloskan dia menjadi calon presiden, KPU merekayasa sebuah aturan yang aneh bin diskriminatif dengan melanggar UUD 45 dan perundangan-undangan yang ada, yang di masa depan yang panjang, mungkin baru akan terasa bahwa hal itu akan menjadi problem besar bangsa Indonesia untuk menegakkan demokrasi dan kedaulatan hukum. Meskipun ia selama ini selalu menjadi pembela orang lain, ia tidak ambil pusing –ketika dirinya menjadi korban, tak ada yang membantu atau membelanya.
Wahid dalam esai-esainya ini melakukan pembelaan mulai dari Inul Daratista yang dikeroyok oleh para seniman terkemuka di Jakarta dengan alasan agama, Ulil Abshar Abdalla aktivis Islam Liberal yang divonis hukuman mati juga dengan alasan agama Islam oleh para ulama terkemuka, sampai ancaman untuk menutup pesantren Al-Mukmin di Ngruki, Solo oleh polisi, meskipun ia tetap mengkritik pandangan Abu Bakar Ba'asyir dan pengikutnya.
Wahid juga melakukan pembelaan terhadap rakyat Irak dan Saddam Hussein dalam berhadapan dengan kejahatann Presiden Amerika Serikat George W. Bush Jr., rakyat Palestina yang terus menerus menjadi bulan-bulanan Israel, serta rakyat tertindas di negara-negara berkembang atas dominasi kapitalis dunia dalam globalisasi. Dan tentu saja, rakyat kecil yang menjadi korban kebijakan pemerintah sendiri. Mereka adalah rakyat Aceh yang ter-paksa memilih bergabung dengan GAM, sebagian rakyat Papua yang terpaksa bergabung dengan OPM, serta rakyat Ambon yang menjadi korban rekayasa kekerasan. Begitu juga pemeluk agama minoritas, selalu menjadi subjek pembelaannya.
Satu hal yang dihindari Wahid -yang memproklamirkan diri sebagai pengikut setia Mahatma Gandhi- adalah kekerasan, termasuk yang dilakukan dari pihak korban. Hanya kalau orang Islam diusir dari rumahnya yang sah dengan semena-mena, kata Wahid menurut hukum Islam, mereka baru boleh melakukan ke-kerasan.
Di samping itu, Wahid juga menghindari satu sudut pan-dang saja dalam melihat banyak hal, termasuk agama. Judul utama buku ini memperlihatkan bahwa pluralitas diutamakan termasuk dalam melihat Islam: “Islamku, Islam Anda, Islam Kita”. Tak ada satu Islam, Islam adalah multi wajah, wajah manusiawi.
Pluralitas dalam melihat Islam dan kehidupan, dengan ber-sandar pada etika dan spiritualitas, itulah yang diusulkan Wahid, termasuk untuk mengelola dunia yang terus bergerak ke arah globalisasi ini: untuk perdamaian abadi dan saling menghormati antar bangsa dan antar manusia.
The Wahid Institute dengan senang hati mempersembahkan esai-esai ini yang ditulis Wahid pasca lengser dari kursi kepresidenan. Wahid Institute berhutang budi kepada banyak pihak, terutama kepada harian dan majalah yang tulisan-tulisannya dimuat dalam kumpulan ini; juga kepada mereka yang secara tekun mencatat, menyimpan dan memperbaiki jika perlu, atas semua naskah ini. Juga kepada Abdurrahman Wahid sendiri yang dengan rela memberikan naskah ini untuk diterbitkan. Terakhir rasa terima kasih yang besar disampaikan kepada Dr. M. Syafi’i Anwar Direktur ICIP (International Center for Islam and Pluralism), yang dalam kesibukannya menyelesaikan disertasi doktornya, masih menyempatkan diri untuk membaca, menseleksi dan memberikan saran perbaikan serta mensistematisasi dan memberi kata pengantar buku ini.
Terima kasih juga disampaikan kepada semua pihak yang tidak bisa disebut satu per satu. Kami hanya bisa mengucapkan semoga amal ibadah bapak ibu sekalian diterima oleh Allah Swt. Amiiin.
Selamat membaca,
Jakarta, Agustus 2006
the WAHID Institute