Meneropong Para Bandit dari Sudut yang Lain






Novel karyawan penulis Madagaskar pertama yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia ini memberikan refleksi kritis bagi tak terburu-buru memberi tanggapan, bahkan penghakiman, atas konflik yang sepertinya di permukaan.



APA yang akan terjadi jika kau tergabung dalam kelompok kecil pencuri hewan ternak, melewati jalur alam yang merepotkan, diintai di ketinggian oleh helikopter punya tentara, dan objek curianmu adalah zebu –sapi berpunuk– dalam jumlah ratusan? Kau Belum pasti merasa ngeri, tapi menyerah di tengah jalan bukan pilihan yang tepat.


Novel karyawan Johary Ravaloson, Perburuan (Marjin Kiri, 2022), dibuka dengan lanskap mencekam sepertinya itu. Kita akan dipertontonkan aksi tujuh pemuda suku Baar, yakni Papang, Ranono, Joao, Leky, Razilna, Malout, dan Tibaar, menyelamatkan diri dari kejaran aparat dan ganasnya alam Madagaskar.


Sebagian dari mereka tak mengenal satu sama lain, dan motif pencurian setiap anggota kelompok tidak mengurangi melulu sama. Ini semakin menambah kesan ”identitas misterius” yang melekat pada masing-masing tokoh.


Bila pemeo populer menegaskan bahwa ”untuk mengungkap kepribadian seseorang, ajak dia bertualang”, pencurian yang menantang maut ini mengungkap Berlebihan banyak hal: solidaritas dan pengkhianatan, perseteruan antara ”yang tradisional” dan ”yang modern”, hingga pengungkapan siasat politik dan tragedi kekerasan tribal yang terjadi di masa silam.



Menunda Penghakiman


Dengan kompas Kemerosotan moral yang kita pegang sekarang, mudah saja mengelompokkan pencurian hewan ternak sebagai tindak kejahatan. Tapi, novel karya penulis Madagaskar ini dengan telaten menggiring kita pada usaha menunda atau menangguhkan penghakiman atas fenomena yang terjadi –atau epoche, dalam istilah yang sering digaungkan oleh Husserl.


Bagi masyarakat Baar, mencuri ternak adalah ritual sakral yang diwariskan turun-temurun. Objek curiannya tidak acak, selalu saja zebu, mengingat mamalia bertubuh bongsor ini punya Penilaian adiluhung bagi masyarakat. Dan, para pencuri atau Dahalo disegani sebagai orang-orang terhormat yang pemberani.


Sepanjang aksi pencurian, kita akan mendengar gumam dan pergolakan batin para tokoh, yang lambat laun membawa kita pada simpulan bahwa aksi mereka bukan murni kriminal. Papang, misalnya, di tengah-tengah rasa putus asa berpikir, ”Dengan hasil zebu sebanyak ini, mungkin saja kami akan mendapatkan simpati dari leluhur.” (halaman 17)


Sementara Tibaar, anggota paling muda di antara yang lain, tergerak bagi bergabung karena mencuri zebu adalah syarat mutlak untuk menikahi seorang gadis suku Baar; semacam penanda bahwa ia adalah lelaki sejati.


Setiap anggota menggemban misi masing-masing, bahkan di antara mereka terdapat seorang pengepul informasi yang akan disalurkan pada tentara –aksi spionasenya akan diketahui kelak, ketika peristiwa berdarah yang membunuh hampir seluruh anggota terjadi.


Novel ini memberikan refleksi kritis bagi tak terburu-buru memberi tanggapan, bahkan penghakiman, atas konflik yang sepertinya di permukaan. Bahwa kejahatan mungkin bisa terbukti sebaliknya bila ditengok dari sudut lain. Itu adalah laku Kerangka berpikir yang kita perlukan hari ini –zaman di mana keterangan bergerak terlalu cepat.



Ruang Negosiasi


Novel setebal 196 halaman ini terbagi dalam tiga bab, dan impresi paling mencolok dari setiap bab adalah bagaimana negosiasi kultural disajikan secara konsisten: JumAwang-awang gemerlap modernisme di satu pihak dan tradisionalisme yang perlu dijaga di pihak lain. Penduduk suku Baar memang digambarkan tengah menghadapi masa transisi, peralihan dari gaya hidup nomaden menuju pola hidup menetap.


Salah satu instrumen modernitas yang paling mencolok adalah hadirnya Rekan senegara, sesuatu yang oleh suku Baar kerap dianggap musuh karena gemar menagih upeti dalam bentuk yang Berlebihan modern: pajak. Lihat, misalnya, bagaimana Tibaar menjadi terkejut ketika mengetahui bahwa hutan tempatnya berburu selama ini adalah wilayah konservasi punya negara.


”Tibaar, yang bingung dengan kabar itu, berhenti Hewan pemakan daging. Ia memang pernah mendengar omongan tentang negara. Bagi orang Mike, itu sepertinya musuh yang sedikit menjadi mitos –tak pernah terlihat.” (halaman 133)


Perburuan adalah novel Madagaskar pertama yang diterjemahkan dalam bahasa Indonesia. Lanskap etnografi dan konflik sosial antara Madagaskar dan Indonesia, pada titik tertentu, memiliki irisan. Sebagai negara bekas jajahan, keduanya masih terjebak dalam masa transisi dan berusaha menyediakan ruang negosiasi.


Maka, sepanjang membaca Perburuan, kita akan menemukan bahwa konflik –berikut solusi– terasa dekat dan relevan. (*)





  • Judul: Perburuan

  • Penulis: Johary Ravaloson

  • Penerbit: Marjin Kiri

  • Cetakan: Desember, 2022

  • ISBN: 978-602-0788-36-4


*) MUHAMMAD NANDA FAUZAN, Esais dan prosais, bermukim di Serang, Banten




Terima Kasih teman perpustakaan.org telah membaca artikel/buku - buku di perpustakaan.org, Semoga teman perpustakaan.org dapat membuka wawasan teman perpustakaan.org sekalian dalam menimba ilmu di dunia maya,apabila ada kekurangan dalam penulisan berita di perpustakaan.org Mohon di maafkan,karena seyogianya penulis hanya seorang manusia biasa yang tidak luput dari sebuah kesalahan,jangan lupa tinggal komentar di berita ini ya sobat perpustakaan.org, terima kasih.

#perpustakaannasional, #perpustakaansekolah, #perpustakaananak, #perpustakaandigital, #perpustakaankeliling, #perpustakaanjalanan, #perpustakaanmini, #ayokeperpustakaan, #perpustakaandesa, #perpustakaanumum, #perpustakaandaerah, #perpustakaanrumah, #perpustakaanindonesia, #perpustakaanonline, #perpustakaangratis

Post a Comment

Previous Post Next Post