Ibu, Kukusan, dan Kampung Halaman-Perpustakaan.org



Hallo teman perpustakaan.org, semoga hari ini dalam keadaan sehat walafiat, ingin mencari buku/artikel tentang seputar perpustakaan disini tempatnya,temukan buku-buku serta artikel perpustakaan terbaik kami hanya di perpustakaan.org.

Lewat metafora dan ironi, puisi-puisi Emi Suy memperlihatkan sikap hidup dan kepenyairannya. Tapi, dia sebenarnya masih mempunyai banyak ruang kemungkinan gaya pengungkapan tentang permasalahan rural dan urban.

SALAH satu perdebatan dalam arena sastra, khususnya puisi, adalah perdebatan tentang estetika. Dari perspektif etimologis, estetika itu sendiri adalah suatu hal yang mempelajari keindahan dari suatu bentuk objek atau daya impuls serta pengalaman estetik dari penciptaan dan pengamatan.

Sedangkan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, estetika merupakan cabang filsafat yang menelaah dan membahas tentang seni dan keindahan serta tanggapan manusia terhadap keindahan tersebut. Jadi, dalam puisi, estetika itu ada pembahasan pula tentang tanggapan pembaca terhadap estetika dalam puisi-puisi tersebut.

Dua hal yang diyakini penyair sebagai bagian dari estetika adalah metafora dan ironi. Permasalahan yang timbul adalah adanya subjektivitas pemaknaan terhadap keindahan tersebut.

Sebab, menurut Arief Budiman, estetika itu sangat bergantung pada konteks ruang dan waktu. Puisi-puisi lirisnya Sapardi Djoko Damono, misalnya, belum tentu juga terasa keindahannya bagi masyarakat kelas rakyat jelata seperti buruh dan petani.

Jika menggunakan teori habitusnya filsuf Prancis Pierre Bourdieu, estetika ada tiga kelas dalam arena sastra: kelas dominan (kelas yang berkuasa atau menguasai pemaknaan tentang estetika), kelas borjuis kecil (kelas menengah pengikut estetika kelas dominan), dan kelas populer (kelas rakyat jelata atau kelas tidak ”melek estetika sastra”).

Dengan demikian, kalau kita melihat kontestasi arena sastra setelah kekalahan Lekra di tahun 1965, estetika realisme sosialis ikut terkubur dan pemenangnya (meminjam istilah Arief Budiman) adalah estetika humanisme universal. Inilah estetika yang menguasai arena sastra Indonesia saat ini. Estetika yang mengutamakan keindahan metafora dan ironi dalam diksi-diksinya.

Dari kondisi arena sastra seperti inilah penyair Emi Suyanti (nama pena Emi Suy) ini lahir dan tumbuh menjadi penyair. Penyair dari Magetan, Jawa Timur, yang sekarang bekerja dan menetap di Jakarta dan beberapa waktu lalu meluncurkan buku puisinya yang kelima berjudul Ibu Menanak Nasi hingga Matang Usia Kami. Sebuah buku yang mempunyai tema tentang ibu, sebagai bentuk penghormatan Emi terhadap sang bunda, dengan diksi-diksi metafora dan ironi. Seperti di halaman 11:


Kukusan

Di kukusan bambu, menghitam

Dibakar bara dan doa, begitu tenang

Ibu menanak usia kami, hingga matang

Di malam mendidih, di siang perih

Ibu pelan-pelan menua, bagai kukusan

Menampung segala ringkih dan perkasa

Sesekali meneguk

Air matanya

Sendiri

Emi membuat kukusan, alat menanak nasi di zaman dulu, menjadi metafora tentang bagaimana ketabahan seorang ibu mendidik dan membesarkan anak-anaknya, dengan ironi meneguk air matanya sendiri membuat pembacanya merasa ”trenyuh” (menyentuh hati hingga meneteskan air mata). Puisi tentang kerinduan pada kampung halaman dan ibu, karena konflik dalam hati perpindahan dari masyarakat rural menuju urban, dan hanya kampung halamanlah yang bisa menjahit luka dari konflik tersebut, ada dalam puisi halaman 27:

Jarum-Jarum Hujan

Di halaman rumah ibu

Aku mandi

Agar jarum-jarum hujan

Menjahit luka kepalaku

Yang lama terbentur

Tembok-tembok kota

Juga pada puisi halaman 38:

Uban Urban

Seseorang menanam kata-kata di kepalaku

Tumbuh besar berakar jadi kota

Yang kerap disinggahi musim

Adakah di sana

Yang bermukim?

Saat mudik tiba

Ia kembali jadi kata-kata

Di puisi penyair urban

Yang setia menyemir uban

Di akhir pekan!

Puisi berasal dari kata Yunani ”poiesis” –”poiein”, yang artinya ”menemukan” –”menciptakan”. Sebagai penemuan-penciptaan, puisi tentu juga soal peng_hayatan serta pertanyaan terhadap realitas dalam diri maupun di luar diri. Dan bagaimana mencari jawabannya.

Metafora juga bisa digunakan penyair untuk memperlihatkan sikap hidupnya, dengan teknik menggunakan gaya ungkap puisi liris. Puisi pernyataan tentang sikap hidup dan praktik sastranya, yaitu tentang realitas kehidupan dan kepenyairannya, ditulis Emi Suy dalam halaman 45:

Tetapi

Siang

Aku rela jadi gudang dan jalan-jalan

Malam

Aku rela jadi rumah dan ayunan

Tetapi di antara Siang dan Malam

Biarkan aku jadi puisi dan alam raya

Emi Suy sebenarnya masih mempunyai banyak ruang kemungkinan gaya pengungkapan dalam menulis puisinya tentang permasalahan rural dan urban ini. Sehingga tidak terjebak pada eksperimentasi bentuk metafora dan ironi, tapi juga menawarkan gagasan-gagasan tentang kaum miskin kota, strukturisasi dalam relasi kuasa, dan permasalahan-permasalahan kemanusiaan lainnya. Di antaranya eksploitasi pekerja, kesetaraan gender, kemacetan, dan banjir.

Sebab, metafora juga bisa digunakan menceritakan penderitaan. Di kebudayaan mana pun di dunia ini, puisi banyak ditulis sebagai bagian dari simpati kepada orang yang menderita. 

Terima Kasih teman perpustakaan.org telah membaca artikel/buku - buku di perpustakaan.org, Semoga teman perpustakaan.org dapat membuka wawasan teman perpustakaan.org sekalian dalam menimba ilmu di dunia maya,apabila ada kekurangan dalam penulisan berita di perpustakaan.org Mohon di maafkan,karena seyogianya penulis hanya seorang manusia biasa yang tidak luput dari sebuah kesalahan,jangan lupa tinggal komentar di berita ini ya sobat perpustakaan.org, terima kasih.

#perpustakaannasional, #perpustakaansekolah, #perpustakaananak, #perpustakaandigital, #perpustakaankeliling, #perpustakaanjalanan, #perpustakaanmini, #ayokeperpustakaan, #perpustakaandesa, #perpustakaanumum, #perpustakaandaerah, #perpustakaanrumah, #perpustakaanindonesia, #perpustakaanonline, #perpustakaangratis


  • Judul Buku: Ibu Menanak Nasi hingga Matang Usia Kami
  • Penerbit: TareBooks (Taretan Sedaya International), Jakarta
  • Tebal: xii + 78 halaman
  • Cetakan: I, Januari 2022
  • *) ARIF GUMANTIA, Ketua Majelis Sastra Madiun

Post a Comment

Previous Post Next Post